Munculnya Faktor Risiko : Toksin Lingkungan, Obesitas dan Diabetes

Munculnya asumsi bahwa obesitas merupakan masalah ketidakseimbangan termodinamik terhadap kalori yang masuk dan keluar tubuh mulai disanggah oleh teori hubungan antara toksin lingkungan terhadap obesitas dan diabetes. Paparan oleh toksin lingkungan yang tidak terlihat mempengaruhi intake kalori yang meningkat sehingga menyebabkan berat badan bertambah dan terjadi resistensi insulin. Dengan kata lain, toksin yang tidak terlihat ini merupakan penyebab obesitas dan diabetes. 
Pengaruh life style dengan tingkat stress tinggi dan makanan rendah fitonutrisi, kaya dengan lemak trans dan lemak jenuh, tinggi kadar gula, dan rendah serat berkontribusi terhadap epidemik diabetes dan obesitas, atau dengan kata lain “diabesity”, yang merupakan rangkaian disfungsi metabolik, mulai dari resistensi insulin ringan sampai end stage diabetes.
The Centers for Disease Control and Prevention memperkirakan bahwa hampir 24 juta penduduk Amerika (23% diantaranya berusia diatas 60 tahun) menderita diabetes tipe 2. Lebih dari 50% penduduk berusia di atas 65 menderita diabetes. Hampir 6 juta penderita diabetes tidak terdiagnosa. Diabetes dan komplikasi kardiovaskularnya saat ini merupakan masalah global penyebab morbiditas dan mortalitas di negara berkembang. Saat ini mempengaruhi lebih dari 240 juta jiwa penduduk di seluruh dunia dan diperkirakan mencapai 380 juta pada tahun 2030. Jumlah ini 10 kali lipat lebih besar dari pada penderita HIV/AIDS di seluruh dunia. Diabetes telah teridentifikasi sebagai salah satu penyebab tersering penyakit kardiovaskular, dementia dan kanker.
Toksin lingkungan mengganggu proses metabolisme glukosa dan kholesterol dan memicu resistensi insulin dan obesitas melalui beberapa mekanisme seperti inflamasi, stress oksidatif, gangguan mitokondrial, metabolisme tiroid yang terganggu, dan kerusakan pusat pengontrol nafsu makan.
Toksin juga dapat menginduksi obesitas pada bayi. Tahun 2006, peneliti Harvard School of Public Health menemukan bahwa rata-rata obesitas pada bayi berumur kurang dari 6 bulan meningkat 73% sejak 1980. Epidemik ini tidak berhubungan dengan diet ataupun kurangnya latihan. Apakah penyebabnya ? Toksin lingkungan yang mengumpul di dalam tubuh kecilnyalah kemungkinan penyebabnya.
Bayi baru lahir (newborn) memiliki 287 bahan kimia di darah tali pusat, 217 di antaranya neurotoksik. Bahan kimia ini antara lain pestisida, phthalates, bisphenol A, flame retardants, and heavy metals seperti merkuri, timah dan arsen. Bahan-bahan kimia ini bersifat neurotoksik, karsinogenik, dan sekarang bersifat obesogenik.
Pada tahun 2008, sebuah studi di JAMA mengemukakan bahwa bisphenol A, bahan kimia yang terdapat dalam botol air dan makanan kalengan, meningkatkan risiko diabetes, penyakit jantung dan fungsi hati abnormal.
Data dari National Health and Nutrition Examination Survey 1999-2002 menemukan korelasi erat antara kadar darah dari 6 polutan organik (petrochemical toxins) dan diabetes. Semakin tinggi kadar serum polutan, semakin tinggi risiko diabetes.
Toksin mengganggu dan memperlambat proses metabolisme dan berkontribusi terhadap penambahan berat badan dan diabetes. Dari penelitian, kadar pestisida organochlorine lebih tinggi pada penderita diabetes.
Logam berat seperti merkuri, timah dan arsenik juga penyebab diabetes. Artikel di JAMA menghubungkan eksposur arsenik meningkatkan risiko diabetes tipe 2. Data lain juga mengkaitkan pada merkuri dari konsumsi ikan, amalgam gigi, dan vaksin yang melalui beberapa mekanisme termasuk gangguan enzimatik, transpor glukosa yang terganggu, stress oksidatif, induksi peradangan pada sitokin, dan gangguan mitokondria. Program detoksifikasi yang komprehensif untuk toksin petrokimia dan logam berat merupakan upaya tambahan yang efektif dalam terapi diabesity.
Toksin memicu resistensi insulin dengan cara mengganggu fungsi reseptor nuklear yang disebut PPARs (peroxisome proliferator-activated receptors) yang dibutuhkan dalam fungsi optimal insulin, pengontrol glukosa, oksidasi lemak, dan regulasi inflamasi. Penelitian menunjukkan bagaimana toksin menyebabkan peningkatan glukosa, kholesterol dan lemak hati (fatty liver).

TERAPI DETOKSIFIKASI

1. DIET TEPAT UNTUK DETOKSIFIKASI
Makanan organik mengandung konsentrasi detoksifikasi, antioksidan, dan anti inflamasi yang lebih tinggi . Makanan spesifik dengan konsentrasi phytonutrients tinggi antara lain glucosinolates or catcheins, yang mendukung detoksifikasi. Makanan lain yang paling efektif untuk mendukung detoksifikasi antara lain cruciferous vegetables (kol, brokoli, collards, kale, Brussels sprouts, Chinese cabbage, bok choy, arugula, radish, wasabi, watercress, kohlrabi, mustard greens, rutabaga, and turnips), curcuminoids (turmeric dan kari), teh hijau (meningkatkan glutathione-S-transferases), dan protein yang mengandung sulfur (telur, bawang putih (garlic), dan bawang (onions).

2. SUPLEMEN PENINGKAT DETOKSIFIKASI
Vitamins, minerals, asam amino, dan phytonutrients dari makanan di atas dibutuhkan sebagai kofaktor untuk fase 1 dan 1 proses detoksifikasi dan untuk melindungi dari inflamasi, stress oksidatif, dan cedera mitokondrial yang sebabkan toksin.
Molekul endogen utama yang paling penting dalam detoksifikasi adalah glutathione. Metilasi optimal dibutuhkan untuk meregenerasi glutathion melalui siklus transsulfuration, menghasilkan B6, asam folat, dan B12 esensial. Zinc dan selenium juga memfasilitasi detoksifikasi sebagai kofaktor enzim metallothionein dan glutathione peroxidase.
N-acetyl-cysteine meningkatkan glutathione dan telah digunakan untuk mengatasi kekurangan glutathion dan gagal hati akibat overdosis acetaminophen.
Milk thistle telah lama digunakan dalam terapi hati dan meningkatkan glutathion. Buffered ascorbic acid (vitamin C) juga penting dalam detoksifikasi dan berperan menurunkan kadar timah dalam tubuh.

3. HYPERTHERMIC THERAPY (SAUNAS)
Sauna dan terapi panas/heat merupakan metode pembersihan sejak dulu. The Environmental Protection Agency menunjukkan bahwa terapi sauna meningkatkan ekstresi logam berat (timah, merkuri, cadmium, bahan kimia larut lemak seperti PCBs, PBBs, dan HCBs).

4. TERAPI MEDIS
Terapi medis seperti kelasi logam berat dapat juga digunakan untuk menurunkan beban tubuh dari merkuri, timah, arsenik dan logam berat lainnya.

KESIMPULAN
Kesadaran global akan perubahan iklim lingkungan berkaitan dengan kewaspadaan akan imbas toksin lingkungan pada tubuh manusia dan epidemik global dari obesitas dan diabetes. Toksin ini tidak hanya bersifat obesogen, namun juga karsinogen dan autogen, dimana memicu reaksi autoimun dan inflamasi serta kematian akibat penyakit kardiovaskular. Toksin juga neurotoksik dan meningkatkan angka kejadian depresi, gangguan autis, attention deficit disorder, dan dementia. Environmental medicine mulai harus dikedepankan sebagai cara kita untuk mengatasi dengan lebih efektif penyakit kronik yang mulai mendunia.

pesan semesta


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *